Pada
suatu hari, ada seorang anak yang bernama Andi. Andi adalah anak yang rajin dan
selalu membantu orang tuanya. Karena sifat rajinnya tersebut, Andi menjadi
salah satu anak yang berprestasi di sekolahnya. Di samping itu, Andi pun juga
memiliki hobi yang unik, yaitu bermain piano. Dia melatih hobinya tersebut
sejak kecil, sampai sekarang, tangannya sudah semakin lihai bermain piano.
Hari-harinya pun dia isi dengan alunan melodi dari alat musik yang besar itu.
Beberapa
tahun kemudian, ketika akan menginjak ke jenjang SMA, Andi bukannya terlihat
senang, tetapi malah terlihat semakin murung. Ada sesuatu yang mengganjal di
pikiran Andi. Ternyata Andi tidak lagi mendapatkan prestasi di kelasnya,
melainkan hanyalah anak yang mendapatkan nilai dengan rata-rata yang standar,
sama seperti anak yang lainnya. Predikat juara kelas pun direbut oleh temannya,
Rudi, yang dulu berada di peringkat bawah Andi. Andi menyesali hal itu. Dia
kemudian berpikir, bagaimana bisa dia sekarang tidak mendapatkan predikat juara
tersebut. Apakah karena hobinya bermain piano yang terlalu sering, yang membuat
prestasinya menurun. Padahal dulu ia sangat mencita-citakan bisa menjadi yang
terbaik waktu kelulusan SMP ini.
Perlahan
dia mulai menyesali hal itu. “Apa yang sudah aku lakukan? Lihat Rudi sekarang,
dulu dia bukan siapa-siapa, sekarang dia mengalahkan prestasiku. Permainan pianoku
sekarang tidak berarti apapun, aku sudah kehilangan cita-citaku untuk mendapatkan
predikat siswa terbaik di SMP. Apa yang sudah kulakukan selama ini sia-sia
saja!”
“Kalau
aku bisa memutar waktu, aku akan menemui diriku yang dulu, dan memberitahunya
agar jangan meneruskan permainan piano ini, aku ingin dapatkan prestasi, bukan
sesuatu yang tak ada hasil pasti!”
Tiba
waktunya acara perpisahan SMP Andi. Para siswa sudah rapi berbaris dengan
toganya, menunggu panggilan dari kepala sekolah untuk pemberian ijazah. “Lulusan
terbaik untuk tahun ini, adalah saudara…. Rudi Haryanto”, suara kepala sekolah
menyerukan nama Rudi sebagai lulusan terbaik. Rudi pun langsung naik ke atas
dan menerima penghargaan dari kepala sekolah. Andi hanya bisa melihat dan
berharap bahwa dirinya lah yang berada di sana. Tetapi, apa boleh buat, itu semua
hanya tinggal harapan belaka. Yang bisa dia lakukan hanya pasrah dan menerima
keadaan.
Yang
penting adalah sekarang, dia harus menyiapkan diri untuk memainkan sebuah lagu
di depan para hadirin. Ketika acara itu, Andi terpilih menjadi pemain piano
sebagai acara hiburan wisuda tersebut. Andi tidak terlalu memikirkan itu, dia
hanya terus berpikir tentang predikat lulusan terbaik yang ia lewatkan.
“Baiklah,
sekarang adalah acara hiburan, kita akan dengarkan lantunan melodi dari
permainan piano yang akan dimainkan oleh saudara kita, Andi!”, kata sang Kepala
Sekolah
Andi
pun berdiri dari kursinya dan naik ke atas panggung. Kepalanya tertunduk dan
matanya melihat ke bawah, karena masih terbawa oleh pikiran sedihnya, meskipun
para hadirin memberi tepuk tangan hangat untuknya.
Andi
pun mulai memainkan piano. Lagu “Terima Kasih Guru” terdendang melalui melodi
nada-nada piano, tanpa vokal. “Walaupun sedang memainkan piano, aku tetap tidak
puas! Bodoh sekali aku ini! Mengapa aku turuti hobiku? Bisa saja aku yang
mendapat gelar itu! Tapi sekarang semuanya sia-sia!”. Andi masih terus berpikir
seperti itu. Alunan melodi piano terdengar semakin lincah tapi teratur. Andi
tidak memperhatikan hal tersebut, dia terus memainkan piano dengan masih
terbawa oleh pikirannya.
Permainan
Andi berhenti
Para
hadirin di ruangan hening. Andi pun mengakhiri permainan pianonya, dengan tetap
menunduk ke bawah. “Kacau, aku tidak konsentrasi, sekarang aku menambah buruk
keadaan”, pikir Andi. “Permainan pianoku tadi itu sangat….”.
“Plok! Plok! Plok!”,
suara tepuk tangan terdengar.
“Plok! Plok! Plok! Plok!”, suara tepuk tangan
yang lain menyautnya, disusul dengan yang lainnya. Gemuruh tepuk tangan yang
luar biasa terdengar, ditujukan untuk Andi. Andi pun hanya bisa melongo. Entah
kenapa, ketika itu juga perasaan kacaunya hilang, berganti menjadi rasa senang.
Dia bisa melihat orang tuanya di antara para penonton, menangis. Andi tahu itu
bukan tangisan sedih, itu tangisan bahagia. Bahagia dengan bakat permainan piano
anaknya yang luar biasa. Si Kepala Sekolah mendekati Andi dan membisikkan
kepadanya, “Selama pengalamanku hidup, aku tidak pernah melihat permainan piano
sebagus tadi dari anak seusiamu, sepertinya kamu benar-benar menghayatinya,
bapak bangga padamu, Andi.”. Andi pun semakin tersenyum lebar. Ia melihat
kepada teman-temannya, semuanya menyoraki Andi, termasuk Rudi, yang
mengacungkan dua jempol kepadanya. Tidak terasa, Andi merasakan sesuatu yang
basah di pipinya. Air mata! Ya, itu air mata Andi! Bukan air mata kesedihan!
Air mata itu adalah air mata yang lain, air mata yang menunjukkan kebanggaan,
kebahagiaan, dan rasa puas. Andi mengangkat tangan dan membungkukkan badan di
hadapan para hadirin yang masih bertepuk tangan untuknya.
Terkadang kita tidak sadar dengan kelebihan yang kita miliki, tetapi kita malah
sibuk melihat dan memperhatikan kelebihan orang lain, sehingga kita merasa
bahwa kita bukan apa-apa. Padahal kelebihan kita lebih berharga, kalau kita mau
tahu dan menghargainya, kalau kita percaya diri dan bangga, cukup dengan apa
yang diberikan Allah. Allah Maha Adil, dia menciptakan sesuatu dengan kelebihan
dan kekurangannya. Yang penting adalah kita mau bersyukur atau tidak.
Banggalah
dengan diri sendiri, kamu tidak seburuk apa yang kamu pikirkan! Dengan kerja
keras dan tekad yang kuat, segala sesuatu bisa dicapai! Nothing is Impossible!
hmm....memotivasi!!!
BalasHapus